Ilustrasi by bizhare
Jakarta, Lontara Today - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus memperkuat strategi pengawasan kepatuhan pajak, kali ini dengan memanfaatkan media sosial sebagai alat intelijen digital. Melalui teknologi crawling, DJP mengumpulkan data dari berbagai platform untuk menelusuri gaya hidup masyarakat, terutama yang tampak mencolok secara finansial. Fokus utama pengawasan ini adalah kalangan selebritas, influencer, hingga figur publik yang gemar membagikan kehidupan mewah di ruang digital.
Langkah ini bukan hal baru dalam praktik DJP, namun kini penerapannya semakin masif dan terstruktur. Direktur Peraturan Perpajakan I, Hestu Yoga Saksama, menyebut bahwa aktivitas crawling tersebut sudah menjadi bagian dari sistem pemantauan internal sejak lama. “Media sosial kan bisa dicrawling. Ini bagian dari operasi intelijen kami,” ujar Hestu.
Data yang dikumpulkan dari media sosial akan dicocokkan dengan informasi perpajakan milik DJP. Jika ditemukan ketidaksesuaian antara gaya hidup yang ditampilkan dan laporan pajak yang dilaporkan, DJP akan melakukan tindakan awal berupa edukasi atau teguran kepada wajib pajak yang bersangkutan. Gaya hidup yang dimaksud bisa mencakup kepemilikan mobil, rumah, hingga aktivitas berlibur ke luar negeri.
Tidak hanya soal gaya hidup, DJP juga mulai memperhatikan sumber penghasilan digital seperti endorsement dan promosi berbayar. Aktivitas tersebut dikategorikan sebagai penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Oleh karena itu, siapa pun yang menerima bayaran melalui kerja sama digital diwajibkan melaporkan dan menyetorkan pajaknya sesuai aturan.
Memasuki tahun 2026, pemerintah menyiapkan pendekatan baru dalam menggali potensi penerimaan negara melalui penguatan data digital. Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menyatakan bahwa strategi berbasis data analytics dan pemanfaatan media sosial akan menjadi andalan dalam menjangkau potensi pajak dari sektor-sektor yang selama ini sulit dipantau secara konvensional.